Sunday 15 February 2015

Pengertian dan Perbedaan Teori Ekonomi Mikro dan Makro




A.   Pengertian Teori Ekonomi Makro dan Mikro
Ekonomi berasal dari bahasa yunani yaitu oikos yang berarti rumah tangga dan nomos ilmu, secara istilah ekonomi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia mencukupi kebutuhannya yang tidak terbatas dengan sumberdaya yang terbatas guna meningkatkan kesejahteraan manusia. Tokoh yang pertama kali menuliskan permasalahan ekonomi adalah Aris Toteles dari Yunani, sehingga orang sekarang menyebutnya sebagai Ahli Ekonomi pertama. Sesudah melalui masa yang sangat panjang, barulah ilmu ekonomi mendapatkan bentuk serta takrif (definisi) yang mantap seperti sekarang ini.
Selanjutnya, ekonomi dibagi menjadi dua bagian besar. Dua bagian itu adalah: Teori Ekonomi Mikro dan Teori Ekonomi Makro. Dengan melihat namanya sudah jelas, apa yang dimaksud dengan kedua pembagian itu, sebab mikro artinya adalah kecil atau sempit, sedangkan makro artinya adalah besar atau luas. Tetapi, pengetahuan tentang arti kata-kata seperti itu saja tentulah belum memadai.
Sementara itu, masalah perekonomian yang paling pokok meloputi tiga masalah yang fundamental dan saling berkaitan, yakni what, how, for whom goods should be produced, yang secara lengkap menunjukkan hubungan yang erat antara produksi dengan konsumsi.

B.   Perbedaan Teori Ekonomi Mikro dan Makro
Teori Ekonomi mikro dan Teori ekonomi makro sangatlah berbeda dan banyak, tetapi perbedaan yang sangat banyak itu tidak akan disebutkan disini semuanya. Di bawah ini disebutkan perbedaan-perbedaan yang penting-penting saja.
Pertama, perbedaan yang paling pokok antara keduanya adalah tentang luas apit ruang lingkupnya masing-masing. Kalau kita berbicara tentang firm (perusahaan) maka kita sedang membicarakan tentang teori ekonomi mikro, sedangkan apabila kita membicarakan tentang berapa jumlah investasi yang dilakukan Indonesia dalam satu tahun, maka kita sedang membicarakan teori ekonomi makro, kalau kita sedang membicarakan harga yang ditentukan di suatu pasar tertentu, maka teori ekonomi mikrolah yang kita bicarakan, tetapi apabila kita berbicara tentang cara yang ampuh oleh pemerintah suatu negara untuk memperluas kesempatan kerja bagi rakyatnya, maka kita sedang berbicara tentang teori ekonomi makro.
Kedua, adalah perbedaan tentang kesempatan kerja (Employment) antara teori ekonomi mikro dan teori ekonomi makro. Teori ekonomi mikro mengatakan (mengasumsikan) bahwa semua sumber-sumber produktif sudah bekerja akan dipergunakan sepenuhnya (full employed), sedangkan teori ekonomi mikro bertolak belakang dengan dari anggapan dasar yang mengatakan sudah berada dalam keadaan full employed, dalam teori ekonomi makro yang menjadi anggapan dasarnya adalah bahwa sesuatu perekonomian tidak selalu berada dalam keadaan full employed, tetapi mungkin sekali masih tetap pengangguran (unemployed). Disamping itu, di dalam teori ekonomi mikro diatas pula dikatakan bahwa semua barang yang dihasilkan pasti terjual habis. Tidak pernah ada barang yang tidak laku.
Selanjutnya, teori ekonomi mikro itu sering disebut orang dengan sebutan yang lain, yaitu price theory (Teori Harga).sebutan seperti itu diberikan, sebab terikatnya teori ekonomi mikro mempelajari tentang harga, yaitu tentang gerak-gerik harga serta segala akibat daripadanya, dan tentang bagaimanakah harga itu ditetapkan.
Adapun teori ekonomi makro, sering pula disebut orang dengan employment theory (Teori Kesempatan Kerja). Sebab diberikannya sebutan itu karena pangkal pembahasannya yang berkisar-kisar pada kesempatan kerja. Tujuan seluruh pembahasan inti dalam teori ekonomi makro adalah keadaan full employment.

Friday 13 February 2015

Pengertia, Syariah, Thariqat, Hakikat, dan Ma'rifat

1.    Syari’ah
Syari’ah berarti  jalan, peraturan, undang-undang tentang sesuatu perbuatan.              ia berasal dari bahasa arab yaitu :           شرع  يشرع  شريعة   شرعة  yang artinya “Menggariskan suatu aturan atau pedoman. Disamping itu syari’ah secara leksikal berarti jalan menuju perhimpunan air untuk diminum manusia, dan juga untuk binatang-binatan piaraan.
Secara istilah syari’ah (شريعة) adalah undang-undang yang dibuat oleh Allah SWT, yang tegak di atas dasar iman dan islam, berupa seperangkat hukum tentang perbuatan zhahir/formal manusia yang diatur berdasarka wahyu al-quran dan hadits/sunnah. Dengan makna ini, maka syari’ah bermakna sama dengan terma “agama” atau ad-din. Dengan demikian, syari’ah identik dengan agama islam itu sendiri, sebagai seperangkat aturan Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad untuk dijelaskan kepada semua manusia agar menjadi way of life bagi kehidupan, agar mereka mencapai hidup baik, bahagia dan selamat di dunia dan akhirat.[1]
Menurut Muhammad Ali  at-Tahanuwi Syari’ah adalah hukum Allah SWT yang ditetapkan untuk hamba-Nya (manusia) yang disampaikan melalui para nabi/rasul-Nya baik hukum yang yang berhubungan dengan dengan amaliyah, hukum ini dimasukkan ke dalam ilmu fiqih maupun hukum yang berhubungan dengan akidah, hukum ini dimasukkan ke dalam ilmu kalam/tauhid. Bagi syekh Mahmud Syaltutالله عليه    رحمة , syari,at mengandung arti hukum dan tata aturan yang disyari’atkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla bagi hamba-Nya untuk diikuti. Faruq Nabhan mengartikan sayri’at sebagai “ segala sesuatu yang disyari’atkan Allah ‘Azza wa Jalla kepada hambanya”. Dari beberapa definisi tersebut, dapat dapat disimpulkan bahwa syri’at itu identik dengan agama (din/millah).[2]

Hal ini sejalan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam surat al-Maidah :48
وانزلنااليك الكتب بالحق مصدقالمابين يديه من الكتب ومهيمناعليه فاحكم بماانز الله ولاتتبع اهواءهم عماجاءك من الحق لكل جعلنا منكم شرعة واحدة ولكن ليبلوكم في مااتاكم فاستبقوا الخيرات الى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بماكنتم فيه تختلفون.
Artinya :”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,” (QS.Al Maidah:48)[3]
Syari’ah dalam kontek kajian hukum islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Maka di dalam membahas syari’ah diawali dengan membahas tasyri’. Tasyri’ adalah menciptakan dan menerapkan syari’at. Dalam kajian hukum islam, tasyri’ sering didefinisikan sebagai penerpan norma-norma hukum untuk menata kehidupan manusia, baik dalam hubunganya dengan Tuhan maupun ddengan umat manusia lainya. Sesuai dengan obyek penerapanya, maka para ulama’ membagi tasyri’ ke dalam 2 bentuk, yaitu tasyri’ samawi dan tasyri’ wadl’i.
Tasyri’ samawi adalah penetapan hukum yang langsung dari Allah dan Rasulnya dalam al-Qur’an dan sunnah.[4]
Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah karena tidak ada yang kompeten yang mengubahnya selain Allah sendiri. Contoh sholat, zakat, puasa, dll
Tasyri’ wadl’i adalah penentuan hukum yang dilakukan para mujtahid . ketentuan-ketentuan hukum hasil kajian mereka ini tidak memiliki sifat mutlak, tetapi bisa berubah-ubah karena merupakan nalar para ulama’ yang tidak lepas dari salah karena dipengaruhi oleh pengalaman keilmuan mereka serta kondisi lingkungan dan dinamika sosial budaya masyarakat di sekitarnya.[5] Sehingga hasil produk ijtihad yang dihasilkan oleh mereka bisa saja di rekonstruksi  karena disesuaikan dengan dimensi kondisi, waktu, kultural, situasi dan tempat  yang ada.
Demikianlah makna syari’ah pada asalnya. Selanjutnya, seiring dengan perkembangan keimuan islam terutama perluasan katagori tubuh keilmuanya, maka syari’ah disimplikasikan menjadi aspek tertentu dari ilmu agama islam. Syari’ah dikatakan sebagai  aspek hukum islam yang bersifat asali yang mengatur perbuatan dzahir manusia dalam setting ketentuan fardlu, wajib, sunnah, mubah, dan haram. Ketentuan-ketentuan hukum syari’ah tersebut lazim  disebut dengan hukum taklifi.
Dari uraian di atas menjadi  jelas bahwa syari’ah merupakan ajaran hukum yang kemudian menelorkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu fiqh (Fikih), yaitu ilmu yang mengupayakan ditetapkanya hukum-hukum syara’ hasil ijtihad para ulama’ dengan berbagai corak dan madzhabnya.[6] Kalau syari’at adalah ajaran hukum islam yang bersifat umum dan universal, tersurat dan tersirat dalam teks al-Qur’an dan hadits, sedangkan fiqih adalah hukum-hukum produk para ulama’ yang besifat juknis dari suatu perbuatan manusia baik menyangkut ibadah mahdloh seperti sholat, puasa dan zakat dll dan juga ibadah ghoiru mahdloh seperti muamalah, siyasah jinayah, munakahat, ta’awun sesama muslim dll.
2.    Thariqat
Thariqat secara bahasa berasal dari bahasa arab “طريقة” yang diambil dari     طرق يطرق طريق    yang berarti  melewati suatu jalan, yang juga bersinonim dengan kata  شارع, سبيل  dan درب  yakni jalan tembusan. Secara leksikal, kata    طريقة  mempunyai sinonim dengan kata اسلوب  dan كيفية yang berarti way, method, precedure, tehnique  yaitu jalan, cara ,prosedur, tehnik dan proses. Terkadang juga berarti  مذهب (aliran paham), dan  وسيلة yang berarti sarana atau perantara.[7]
Dalam kajian sufistik, thariqah  yang selanjutnya di tulis dengan tarekat sebagaimana dijelaskan oleh Abu Bakar Aceh yang dikutip oleh Mustafa Zahri adalah jalan atau petunjuk melakukan ibadah tertentu sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang diteruskan para sahabat,tabi’in dan tabi’it tabi’in secara turun temurun hingga para ulama’ atau guru-guru tasawwuf secara berantai (membentuk sebuah silsilah/sanad tarekat) hingga kepada kita sekarang ini.
Menurut Amin al Kurdi mendinifisikan bahwa thariqat :
الطريقة هي العمل بالشريعة والاخذ بعرائمها والبعد عن التساهل فيما لاينبغي الثساهل فيه
Artinya : Thariqah adalah pengalaman syari’ah dan secara serius mengamalkan ketentuan-ketentuan secara serius mengamalkan ketentuan-ketentuanya, menjauhkan diri dari sikap mempermudah yang memang seharusnya tidak diperbolehkan  mempemudahkan. Secara operasional, thariqah berarti :
اجتناب المنهيات ظاهراوباطنا وامتثال الاوامر الالهية بقدر الطاقة
Artinya : meenjauhkan cegahan-cegahan agama secara zhahir dan batin, serta melaksanakan perintah-perintah tuhan sekuat tenaga.[8]
Bila syari’ah untuk memperbaiki wilayah dhahir atau badan jasmani, agar manusia menyembah-Nya. Maka  thariqah berguna untuk memperbaiki hati supaya manusia dapat menuju kepada-Nya.
Guru dalam thariqat yang sudah melembaga itu disebut Mursyid, adapun pengikutnya disebut murid, setiap thariqat memiliki amalan atau ajaran wirid tertentu, tata tertib dan upacara-upacara lainnya yang membedakan antara satu thariqat dengan thariqat yang lain, keberadaan murid dihadapan gurunya bagaikan mayit yang yang tak berdaya apa-apa. Dan karena thariqat adalah jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang yang menjalankan thariqat itu harus menjalankan syari’at dan harus menjalankan unsur-unsur sebagai berikut:
1.         Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2.         Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak gurunya dan melaksanakan perintahnya dan menjahui larangannya.
3.         Tidak mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
4.         Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan do’a guna pemantapan dan kekhusyuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi.
5.         Mengekang hawa nafsu yang dapat menodai amal.[9]
Jadi eksestensi thariqah terhadap dinul islam hanya merupakan salah satu fasilitas keilmuan dan praktek latihan ruhani, guna menuju pada taqarruban inda-lla(mendekatkan kepada Allah SWT) yang berlandaskan pada cabang-cabang disiplin ilmu.[10]
Perubahan tasawwuf kedalam thariqat sebagai lembaga dapat dilihat dari perseorangnya, yang kemudian berkembang menjadi thariqat yang lengkap dengan simbol-simbol, seperti Thariqat Syuhrawardiyah dinisbatkan pada Diyah al-Din al-Suhrawardi, Thariqat Qadariyah dinisbatkan pada Abdul Qodir jaelani, Thariqat Rifa’iyah dinisbatkan pada Ahmad Ibn al-Rifa’i, Thariqat Jasafiyah dinisbatkan pada Ahmad al-Jasafi, Thariqat Sadziliyah dinisbatkan pada Abu Madyan Shuhaib, Thariqat Mauliyah dinisbatkan pada Jalaluddin Rumi, dari sekian banyak aliran thariqat tersebut, terdapt sekurang-kurangnya tujuh aliran thariqat yang berkembang di Indonesia yaitu, Thariqat Qadariyah, Rifa’iyah, Naqsayabandiyah, Sammaniyah, Khalwatiyah, al-Haddad, dan Khalidiyah.[11] Selanjutnya, dari sekian banyak thoriqat, terdapat tata cara pelaksanaan thariqat, antara lain:
a.       Zikir, yaitu ingat terus-menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan dengan lisan.
b.      Ratib, yaitu mengucap lafadl la ilaaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
c.       Muzik, yaitu dalam membacakan wirid dan syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian seperti memukul rebana.
d.      Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
e.       Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir tertentu.[12]

3.      Haqiqat
Secara harfiah, haqiqah berarti yang nyata, yang benar, dan yang sejati sesuatu itu diketahui hakikatnya ketika telah menunjukkan kepastianya yang telah tetap, sehingga tidak dapat diingkari lagi. Kata haqiqah berasal dari bahasa  arab حقيقة  yang artinya secara leksikal adalah apa yang menjadi jati diri sesuatu. Secara tradisi kebahasaan adalah  :
مابه الشيء هو باعتبار تحققه حقيقة وباعتبارتشخصه هوية مع قطع النظر عن ذالك ماهية
Artinya : Haqiqah adalah apa yang menjadi inti sesuatu dari segi esensinya disebut haqiqah (inti) dan dari penampakanya atau replikasinya dinamakan identitas kedirian dan jika dipikirkan secara mendalam diketahui esensi dan substansinya.
Menurut para pakar sastra, kata haqiqah yang selanjutnya ditulis dengan hakikat adalah suatu keputusan/penelitian yang sesuai dengan realitasnya. Secara kualitatif, hakikat merupakan sebuah esensi dzatiyah yang diletakkan pada pernyataan, keyakinan, pendapat, pemahaman, dan aliran.
Menurut istilah sufistik, sebagaimana dinyatakan oleh Zainuddin Ali al Malibary, dijelaskan sebagai berikut :
الحقيقة هي وصول السالك الى المقصود وهو معرفة الله سبحانه وتعالى ومشاهدة نورالتجلى,
وعند القشيري هي مشاهدة الربوبية اي رؤية اياهابقلبه.
Artinya : Haqiqah adalah sampainya seorang sufi yang menempuh(jalan spiritual) tarekat pada tujuanya, yaitu mengenal Allah SWT. Dan menyaksikan cahaya penampakan Allah, yang mana menurut al Qusyairi adalah menyelami hadirat suci ketuhanan, yakni bahwa seseorang melihat dari menyaksikan kebesaran tuhan dengan hatinya.[13]
Imam Ghazali menerangkan, bahwa tajalli itu ialah terbukanya nur cahaya yang gaib bagi hati seseorang. Sangat mungkin bahwa yang dimaksudkan dengan tajalli disini ialah yang mutajalli, yaitu Allah ta’ala, sebab beliau dalam membedakan syari’at dengan haqiqat, mengatakan sebagai berikut  :
فالشريعة ان تعبده والحقيقة ان تشهده  
Artinya : syari’at adalah menyembah kepada Allah sedangkan haqiqat adalah melihat kepadanya.
 Lain daripada itu, sebagian ulama tasawwuf mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan haqiqat itu ialah segala macam penjelasan mengenai kebenaran sesuatu seperti syuhud asma’ dan shiffat demikian juga syuhud dzat dan memahami rahasia-rahasia yang terkandung dalam cegahan dan kebolehan. Isamping itu juga memahami ilmu-ilmu gaib yang tidak diperoleh dari seorang guru.[14]
Dalam kaitan ini, hakikat dimaksudkan dengan tingkat seseorang mengamalkan agama ini, serta mengenal tujuan agama ini bagi manusia yaitu dapat menghadirkan dirinya sebagai hamba yang sadar akan tuhanya, sehingga dapat menampilkan dirinya sebagai ideal Allah. Selain itu dapat dipahami juga, bahwa hakikat adalah hasil seseorang menempuh perjalanan hidup berdasarkan ajaran agamanya yang sebenarnya.[15]
Prof.Dr. H. Abu Bakar Aceh dalam bukunya pengantar ilmu tarekat, menyimpulkan tentang ilmu haqiqat itu ada 3 bagian yaitu  :
1.      Haqiqat Tasawwuf
Haqiqat tasawwuf ini diutamakan untuk membicarakan usaha-usaha memutuskan syahwat dan meninggalkan dunia dengan segala keindahanya serta menarik diri serta kebiasaan-kebisaan duniawi.
2.      Haqiqat Ma’rifat
Yaitu mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dengan bersungguh-sungguh dalam segala pekerjaan dan ahwalnya.
3.      Haqiqatul Haqoiq
Haqiqat ini merupakan puncak segala haqiqat. Ia termasuk martabat ahadiyah, penghimpun dari semua haqiqat. Disebut juga dengan nama hadratul jama’ atau hadratul wujud.[16]

4. Ma’rifat
Secara harfiah kata ma’rifat bersal dari bahasa arab معرفة yang bersinonim dengan kata علم yang artinya pengetahuan yang mantab dan meyakinkan. Hanya saja kalau dirinci, terdapat perbedaan bahwa : kata عرف يعرف (derivasi kata معرفة  ) berarti mengetahui dengan daya qalbiyah sehingga bearati ادرك yang maksudnya menemukan kemantapan hati tentang sesuatu yang dicari. Sedangkan kata علم يعلم  (yang menjadi derifasi kata علم ) berarti memahami dan mengerti yang berbasis aqliyah. Dengan demikian kata ma’rifat berarti pengetahuan batin yang berbasis kekuatan kalbu sehingga membuahkan sesuatu, dan terasa dekat serta hadir dalam sesuatu yang dikenali tersebut.
Menurut istilah sebagaimana dikatakan oleh pakar ilmu haqiqah adalah :
المعرفة هي العلم بأسماءالله تعالى وصفاته مع الصدق لله تعالى في معاملته وجميع احواله ودوام مناجاته في السر والرجوع اليه في كل شيء  والتطهر من الاخلاق والاوصاف الرديئة.
Artinya : Ma’rifat adalah mengerti dan memehami nama-nama Allah SWT. Dan sifat-sifat-Nya secara jujur dan tulus untuk berintraksi denga-Nya dan serius dalam segala kondisinya, dan senantiasa berkoneksi dengan-Nya dalam kondisi suasana sirri, serta berupaya kembali kepada-Nya dalam segala sesuatunya dengan membersihkan dirinya dari sifat-sifat rendah tercela.[17]
Dalam arti sufistik ini ma’rifat diartikan sebagai pengertian pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan dengan yang diketahui itu yaitu tuhan. Selanjutnya dalam literatur yang diberikan tentang ma’rifat sebagai dikatakan Harun Nasution, ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan  :
1.      Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah
2.      Ma’rifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat kecermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3.      Yang dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.      Sekiranya ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahanya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang gemilang.[18]
Karenanya ma’rifatullah bagi salik akan mampu mengantarkan kepada hidup yang mencapai kebeningan ruh, hati, dan jiwa. Sehingga ketentraman dan keterangan kepribadianya akan mampu mengantarkan pada pelaksanaan dan pengamalan neraca syari’at, neraca mental dan keperibadian. Seorang salik yang telah mencapai kedudukan ruhani dan ruhi ma’rifatullah, dunia ini laksana dedaunan yang semakin lama akan semakin layu dan mengering. Sementara, ia memahami bahwa di kehidupan seorang manusia yang maha luas adalah merapakan rahmatan dan kasih sayang Allah azza wa jalla. Bagi seorang salik yang telah ma’rifatullah, ia tidak lagi mampu mengucapkan, memikirkan, dan menggagaskan mengenai asma, sifat, dan dzat-Nya. Sebab, baginya Allah azza wa jalla adalah segala-galanya dan totalitas Mahakuasa dan Mahabesar itu sendiri.[19]


KESIMPULAN
Syari’at, thariqat, haqiqat dan ma’rifat merupakan maqam yang ada di dunia tasawwuf yang harus ditempuh secara bertahap oleh seorang murid dalam menjalani suluk/mistik untuk mencapai kepada maqam tajalli (terbukanya nur cahaya yang gaib bagi hati seseorang). Adapun perbedaan yang ada pada maqam-maqam tersebut adalah  sebagai berikut  :
1.      Syari’at (شريعة) adalah undang-undang yang dibuat oleh Allah SWT, yang tegak di atas dasar iman dan islam, berupa seperangkat hukum tentang perbuatan zhahir/formal manusia yang diatur berdasarka wahyu al-quran dan hadits/sunnah. Kaitanya dengan dunia tasawwuf syari’at bagaikan perahu yang harus dinaiki oleh seseorang untuk mengaruhi sebuah lautan luas.
2.      Thariqat ) طريقة ) adalah jalan atau petunjuk melakukan ibadah tertentu sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang diteruskan para sahabat,tabi’in dan tabi’it tabi’in secara turun temurun hingga para ulama’ atau guru-guru tasawwuf secara berantai (membentuk sebuah silsilah/sanad tarekat) hingga kepada kita sekarang ini.
3.      Haqiqah ) حقيقة) adalah sampainya seorang sufi yang menempuh(jalan spiritual) tarekat pada tujuanya, yaitu mengenal Allah SWT. Dan menyaksikan cahaya penampakan Allah, yang mana menurut al Qusyairi adalah menyelami hadirat suci ketuhanan, yakni bahwa seseorang melihat dari menyaksikan kebesaran tuhan dengan hatinya.
4.      Ma’rifat (معرفة) adalah mengerti dan memehami nama-nama Allah SWT. Dan sifat-sifat-Nya secara jujur dan tulus untuk berintraksi denga-Nya dan serius dalam segala kondisinya, dan senantiasa berkoneksi dengan-Nya dalam kondisi suasana sirri, serta berupaya kembali kepada-Nya dalam segala sesuatunya dengan membersihka dirinya dari sifat-sifat rendah tercela.
Dalam arti sufistik ini ma’rifat diartikan sebagai pengertian pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan dengan yang diketahui itu yaitu tuhan.

DAFTAR PUSTAKA



[1] Tim Penyusun MKD, Akhlaq Tasawwuf  (Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press.2012) hal 275-276
[2] Tim Penyusun MKD, Studi Hukum Islam (Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press.2012) hal 36-37
[3] Departemen Agama RI, Al Qur an dan terjemahanya (Jakarta:Mushaf syarifah, 1971)
[4] Tim Penyusun MKD, Pengantar studi islam (Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press:2012) hal 60-61
[5] Ibid hal 61
[6] Tim penyusun MKD,Pengantar studi islam (Surabya,IAIN Sunan Ampel press:2012) hal 279-280
[7] Ibid 280-281
[8] ibid
[9] Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 271-272
[10]Miftahul lutfhi Muhammad, Tasawwuf Implementatif, (Surabaya:DIS Ma,had TeeBee, 2004) 17-18
[11] Nata, Akhlaq Tasawuf...hal.273
[12] Ibid hal. 276-277
[13] Ibid hal 289
[14] K.Permadi, Pengantar ilmu Tasawwuf, (Jakarta:PT Rineka Cipta,1997) hal 56-57
[15] Ibid hal 291
[16] K. Permadi....hal 57-58
[17] Ibid hal 291-292
[18] H.Abudin Nata, Akhlak Tasawwuf (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1997) hal 220-221
[19] Miftahul lutfhi Muhammad, Tasawwuf Implementatif, (Surabaya:DIS Ma,had TeeBee, 2004)