1.
Syari’ah
Syari’ah berarti jalan,
peraturan, undang-undang tentang sesuatu perbuatan. ia berasal dari bahasa arab yaitu
: شرع يشرع
شريعة شرعة yang artinya “Menggariskan suatu aturan
atau pedoman. Disamping itu syari’ah secara leksikal berarti jalan menuju
perhimpunan air untuk diminum manusia, dan juga untuk binatang-binatan piaraan.
Secara istilah syari’ah (شريعة)
adalah undang-undang yang dibuat oleh Allah SWT, yang tegak di atas dasar iman
dan islam, berupa seperangkat hukum tentang perbuatan zhahir/formal manusia yang
diatur berdasarka wahyu al-quran dan hadits/sunnah. Dengan makna ini, maka
syari’ah bermakna sama dengan terma “agama” atau ad-din. Dengan
demikian, syari’ah identik dengan agama islam itu sendiri, sebagai seperangkat
aturan Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad untuk dijelaskan kepada semua
manusia agar menjadi way of life bagi kehidupan, agar mereka mencapai
hidup baik, bahagia dan selamat di dunia dan akhirat.[1]
Menurut Muhammad Ali
at-Tahanuwi Syari’ah adalah hukum Allah SWT yang ditetapkan untuk hamba-Nya
(manusia) yang disampaikan melalui para nabi/rasul-Nya baik hukum yang yang
berhubungan dengan dengan amaliyah, hukum ini dimasukkan ke dalam ilmu fiqih
maupun hukum yang berhubungan dengan akidah, hukum ini dimasukkan ke dalam ilmu
kalam/tauhid. Bagi syekh Mahmud Syaltutالله عليه رحمة , syari,at
mengandung arti hukum dan tata aturan yang disyari’atkan oleh Allah ‘Azza wa
Jalla bagi hamba-Nya untuk diikuti. Faruq Nabhan mengartikan sayri’at
sebagai “ segala sesuatu yang disyari’atkan Allah ‘Azza wa Jalla kepada
hambanya”. Dari beberapa definisi tersebut, dapat dapat disimpulkan bahwa
syri’at itu identik dengan agama (din/millah).[2]
Hal ini sejalan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam
surat al-Maidah :48
وانزلنااليك
الكتب بالحق مصدقالمابين يديه من الكتب ومهيمناعليه فاحكم بماانز الله ولاتتبع
اهواءهم عماجاءك من الحق لكل جعلنا منكم شرعة واحدة ولكن ليبلوكم في مااتاكم
فاستبقوا الخيرات الى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بماكنتم فيه تختلفون.
Artinya :”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-qur’an dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab yang
diturunkan sebelumnya dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu,” (QS.Al Maidah:48)[3]
Syari’ah dalam kontek kajian hukum islam lebih menggambarkan
kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyri’.
Maka di dalam membahas syari’ah diawali dengan membahas tasyri’. Tasyri’
adalah menciptakan dan menerapkan syari’at. Dalam kajian hukum islam, tasyri’
sering didefinisikan sebagai penerpan norma-norma hukum untuk menata kehidupan
manusia, baik dalam hubunganya dengan Tuhan maupun ddengan umat manusia lainya.
Sesuai dengan obyek penerapanya, maka para ulama’ membagi tasyri’ ke
dalam 2 bentuk, yaitu tasyri’ samawi dan tasyri’ wadl’i.
Tasyri’ samawi adalah penetapan
hukum yang langsung dari Allah dan Rasulnya dalam al-Qur’an dan sunnah.[4]
Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah
karena tidak ada yang kompeten yang mengubahnya selain Allah sendiri. Contoh
sholat, zakat, puasa, dll
Tasyri’ wadl’i adalah
penentuan hukum yang dilakukan para mujtahid . ketentuan-ketentuan hukum hasil
kajian mereka ini tidak memiliki sifat mutlak, tetapi bisa berubah-ubah karena
merupakan nalar para ulama’ yang tidak lepas dari salah karena dipengaruhi oleh
pengalaman keilmuan mereka serta kondisi lingkungan dan dinamika sosial budaya
masyarakat di sekitarnya.[5]
Sehingga hasil produk ijtihad yang dihasilkan oleh mereka bisa saja di
rekonstruksi karena disesuaikan dengan dimensi
kondisi, waktu, kultural, situasi dan tempat yang ada.
Demikianlah makna syari’ah pada asalnya. Selanjutnya, seiring
dengan perkembangan keimuan islam terutama perluasan katagori tubuh keilmuanya,
maka syari’ah disimplikasikan menjadi aspek tertentu dari ilmu agama islam.
Syari’ah dikatakan sebagai aspek hukum
islam yang bersifat asali yang mengatur perbuatan dzahir manusia dalam setting
ketentuan fardlu, wajib, sunnah, mubah, dan haram. Ketentuan-ketentuan hukum
syari’ah tersebut lazim disebut dengan
hukum taklifi.
Dari uraian di atas menjadi
jelas bahwa syari’ah merupakan ajaran hukum yang kemudian menelorkan
satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu fiqh (Fikih), yaitu ilmu
yang mengupayakan ditetapkanya hukum-hukum syara’ hasil ijtihad para ulama’
dengan berbagai corak dan madzhabnya.[6]
Kalau syari’at adalah ajaran hukum islam yang bersifat umum dan universal, tersurat
dan tersirat dalam teks al-Qur’an dan hadits, sedangkan fiqih adalah
hukum-hukum produk para ulama’ yang besifat juknis dari suatu perbuatan
manusia baik menyangkut ibadah mahdloh seperti sholat, puasa dan zakat dll dan
juga ibadah ghoiru mahdloh seperti muamalah, siyasah jinayah, munakahat, ta’awun
sesama muslim dll.
2.
Thariqat
Thariqat secara bahasa berasal dari bahasa arab “طريقة” yang diambil dari طرق يطرق طريق yang berarti
melewati suatu jalan, yang juga bersinonim dengan kata شارع, سبيل dan درب yakni jalan
tembusan. Secara leksikal, kata طريقة mempunyai sinonim dengan kata اسلوب dan
كيفية yang berarti way, method, precedure,
tehnique yaitu jalan, cara
,prosedur, tehnik dan proses. Terkadang juga berarti مذهب (aliran paham), dan وسيلة yang berarti sarana atau
perantara.[7]
Dalam kajian sufistik, thariqah
yang selanjutnya di tulis dengan tarekat sebagaimana dijelaskan oleh Abu
Bakar Aceh yang dikutip oleh Mustafa Zahri adalah jalan atau petunjuk melakukan
ibadah tertentu sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW,
yang diteruskan para sahabat,tabi’in dan tabi’it tabi’in secara turun temurun
hingga para ulama’ atau guru-guru tasawwuf secara berantai (membentuk sebuah
silsilah/sanad tarekat) hingga kepada kita sekarang ini.
Menurut Amin al Kurdi mendinifisikan bahwa thariqat :
الطريقة هي العمل بالشريعة والاخذ بعرائمها والبعد عن التساهل فيما
لاينبغي الثساهل فيه
Artinya : Thariqah adalah pengalaman syari’ah dan secara serius
mengamalkan ketentuan-ketentuan secara serius mengamalkan
ketentuan-ketentuanya, menjauhkan diri dari sikap mempermudah yang memang
seharusnya tidak diperbolehkan mempemudahkan. Secara operasional, thariqah
berarti :
اجتناب المنهيات ظاهراوباطنا وامتثال الاوامر الالهية بقدر الطاقة
Artinya : meenjauhkan cegahan-cegahan agama secara zhahir dan
batin, serta melaksanakan perintah-perintah tuhan sekuat tenaga.[8]
Bila syari’ah untuk memperbaiki wilayah dhahir atau badan jasmani,
agar manusia menyembah-Nya. Maka
thariqah berguna untuk memperbaiki hati supaya manusia dapat menuju
kepada-Nya.
Guru dalam thariqat yang sudah melembaga itu disebut Mursyid,
adapun pengikutnya disebut murid, setiap thariqat memiliki amalan atau ajaran
wirid tertentu, tata tertib dan upacara-upacara lainnya yang membedakan antara
satu thariqat dengan thariqat yang lain, keberadaan murid dihadapan gurunya
bagaikan mayit yang yang tak berdaya apa-apa. Dan karena thariqat adalah jalan
yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka orang yang
menjalankan thariqat itu harus menjalankan syari’at dan harus menjalankan
unsur-unsur sebagai berikut:
1.
Mempelajari
ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama.
2.
Mengamati
dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak gurunya dan melaksanakan
perintahnya dan menjahui larangannya.
3.
Tidak
mencari-cari keringanan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki.
4.
Berbuat
dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan do’a guna
pemantapan dan kekhusyuan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi.
5.
Mengekang
hawa nafsu yang dapat menodai amal.[9]
Jadi eksestensi thariqah terhadap dinul islam hanya merupakan salah
satu fasilitas keilmuan dan praktek latihan ruhani, guna menuju pada
taqarruban inda-lla(mendekatkan kepada Allah SWT) yang berlandaskan
pada cabang-cabang disiplin ilmu.[10]
Perubahan tasawwuf kedalam thariqat sebagai lembaga dapat dilihat
dari perseorangnya, yang kemudian berkembang menjadi thariqat yang lengkap
dengan simbol-simbol, seperti Thariqat Syuhrawardiyah dinisbatkan pada Diyah
al-Din al-Suhrawardi, Thariqat Qadariyah dinisbatkan pada Abdul Qodir jaelani,
Thariqat Rifa’iyah dinisbatkan pada Ahmad Ibn al-Rifa’i, Thariqat Jasafiyah
dinisbatkan pada Ahmad al-Jasafi, Thariqat Sadziliyah dinisbatkan pada Abu
Madyan Shuhaib, Thariqat Mauliyah dinisbatkan pada Jalaluddin Rumi, dari sekian
banyak aliran thariqat tersebut, terdapt sekurang-kurangnya tujuh aliran
thariqat yang berkembang di Indonesia yaitu, Thariqat Qadariyah, Rifa’iyah, Naqsayabandiyah,
Sammaniyah, Khalwatiyah, al-Haddad, dan Khalidiyah.[11]
Selanjutnya, dari sekian banyak thoriqat, terdapat tata cara pelaksanaan
thariqat, antara lain:
a.
Zikir,
yaitu ingat terus-menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan dengan
lisan.
b.
Ratib,
yaitu mengucap lafadl la ilaaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama
tertentu.
c.
Muzik,
yaitu dalam membacakan wirid dan syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian
seperti memukul rebana.
d.
Menari,
yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan tertentu untuk
menimbulkan kekhidmatan.
e.
Bernafas,
yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir tertentu.[12]
3.
Haqiqat
Secara harfiah,
haqiqah berarti yang nyata, yang benar, dan yang sejati sesuatu itu
diketahui hakikatnya ketika telah menunjukkan kepastianya yang telah tetap,
sehingga tidak dapat diingkari lagi. Kata haqiqah berasal dari bahasa arab حقيقة yang
artinya secara leksikal adalah apa yang menjadi jati diri sesuatu. Secara
tradisi kebahasaan adalah :
مابه الشيء هو باعتبار تحققه حقيقة وباعتبارتشخصه هوية مع قطع النظر
عن ذالك ماهية
Artinya
: Haqiqah adalah apa yang menjadi inti sesuatu dari segi esensinya disebut
haqiqah (inti) dan dari penampakanya atau replikasinya dinamakan identitas
kedirian dan jika dipikirkan secara mendalam diketahui esensi dan substansinya.
Menurut para
pakar sastra, kata haqiqah yang selanjutnya ditulis dengan hakikat adalah suatu
keputusan/penelitian yang sesuai dengan realitasnya. Secara kualitatif, hakikat
merupakan sebuah esensi dzatiyah yang diletakkan pada pernyataan, keyakinan,
pendapat, pemahaman, dan aliran.
Menurut istilah
sufistik, sebagaimana dinyatakan oleh Zainuddin Ali al Malibary, dijelaskan
sebagai berikut :
الحقيقة هي وصول السالك الى المقصود وهو معرفة الله سبحانه وتعالى
ومشاهدة نورالتجلى,
وعند القشيري هي مشاهدة الربوبية اي رؤية اياهابقلبه.
Artinya :
Haqiqah adalah sampainya seorang sufi yang menempuh(jalan spiritual) tarekat
pada tujuanya, yaitu mengenal Allah SWT. Dan menyaksikan cahaya penampakan
Allah, yang mana menurut al Qusyairi adalah menyelami hadirat suci ketuhanan,
yakni bahwa seseorang melihat dari menyaksikan kebesaran tuhan dengan hatinya.[13]
Imam Ghazali
menerangkan, bahwa tajalli itu ialah terbukanya nur cahaya yang gaib
bagi hati seseorang. Sangat mungkin bahwa yang dimaksudkan dengan tajalli
disini ialah yang mutajalli, yaitu Allah ta’ala, sebab beliau dalam membedakan
syari’at dengan haqiqat, mengatakan sebagai berikut :
فالشريعة ان
تعبده والحقيقة ان تشهده
Artinya : syari’at adalah menyembah kepada Allah sedangkan haqiqat
adalah melihat kepadanya.
Lain daripada itu, sebagian ulama tasawwuf
mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan haqiqat itu ialah segala macam
penjelasan mengenai kebenaran sesuatu seperti syuhud asma’ dan shiffat demikian
juga syuhud dzat dan memahami rahasia-rahasia yang terkandung dalam cegahan dan
kebolehan. Isamping itu juga memahami ilmu-ilmu gaib yang tidak diperoleh dari
seorang guru.[14]
Dalam kaitan
ini, hakikat dimaksudkan dengan tingkat seseorang mengamalkan agama ini, serta
mengenal tujuan agama ini bagi manusia yaitu dapat menghadirkan dirinya sebagai
hamba yang sadar akan tuhanya, sehingga dapat menampilkan dirinya sebagai ideal
Allah. Selain itu dapat dipahami juga, bahwa hakikat adalah hasil seseorang
menempuh perjalanan hidup berdasarkan ajaran agamanya yang sebenarnya.[15]
Prof.Dr. H. Abu
Bakar Aceh dalam bukunya pengantar ilmu tarekat, menyimpulkan tentang ilmu
haqiqat itu ada 3 bagian yaitu :
1.
Haqiqat Tasawwuf
Haqiqat
tasawwuf ini diutamakan untuk membicarakan usaha-usaha memutuskan syahwat dan
meninggalkan dunia dengan segala keindahanya serta menarik diri serta
kebiasaan-kebisaan duniawi.
2.
Haqiqat Ma’rifat
Yaitu
mengenal nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya dengan bersungguh-sungguh dalam
segala pekerjaan dan ahwalnya.
3.
Haqiqatul Haqoiq
Haqiqat
ini merupakan puncak segala haqiqat. Ia termasuk martabat ahadiyah, penghimpun
dari semua haqiqat. Disebut juga dengan nama hadratul jama’ atau
hadratul wujud.[16]
4. Ma’rifat
Secara harfiah kata ma’rifat bersal dari bahasa arab معرفة yang bersinonim dengan kata علم yang artinya pengetahuan yang mantab dan
meyakinkan. Hanya saja kalau dirinci, terdapat perbedaan bahwa : kata عرف يعرف (derivasi kata معرفة ) berarti mengetahui dengan daya qalbiyah
sehingga bearati ادرك yang maksudnya
menemukan kemantapan hati tentang sesuatu yang dicari. Sedangkan kata علم يعلم (yang menjadi derifasi kata علم ) berarti memahami dan mengerti yang berbasis aqliyah.
Dengan demikian kata ma’rifat berarti pengetahuan batin yang berbasis kekuatan
kalbu sehingga membuahkan sesuatu, dan terasa dekat serta hadir dalam sesuatu
yang dikenali tersebut.
Menurut istilah sebagaimana dikatakan oleh pakar ilmu haqiqah
adalah :
المعرفة هي العلم بأسماءالله تعالى وصفاته مع الصدق لله تعالى في
معاملته وجميع احواله ودوام مناجاته في السر والرجوع اليه في كل شيء والتطهر من الاخلاق والاوصاف الرديئة.
Artinya : Ma’rifat adalah mengerti dan memehami nama-nama Allah
SWT. Dan sifat-sifat-Nya secara jujur dan tulus untuk berintraksi denga-Nya dan
serius dalam segala kondisinya, dan senantiasa berkoneksi dengan-Nya dalam
kondisi suasana sirri, serta berupaya kembali kepada-Nya dalam segala
sesuatunya dengan membersihkan dirinya dari sifat-sifat rendah tercela.[17]
Dalam arti sufistik ini ma’rifat diartikan sebagai pengertian
pengetahuan mengenai tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian
lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan dengan yang diketahui itu
yaitu tuhan. Selanjutnya dalam literatur yang diberikan tentang ma’rifat
sebagai dikatakan Harun Nasution, ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat,
sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi
mengatakan :
1.
Kalau
mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan
tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah
2.
Ma’rifat
adalah cermin, kalau seorang arif melihat kecermin itu yang akan dilihatnya
hanyalah Allah.
3.
Yang
dilihat orang arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.
Sekiranya
ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati
karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahanya. Dan semua cahaya akan
menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang gemilang.[18]
Karenanya ma’rifatullah bagi salik akan mampu mengantarkan kepada
hidup yang mencapai kebeningan ruh, hati, dan jiwa. Sehingga ketentraman dan
keterangan kepribadianya akan mampu mengantarkan pada pelaksanaan dan pengamalan
neraca syari’at, neraca mental dan keperibadian. Seorang salik yang telah
mencapai kedudukan ruhani dan ruhi ma’rifatullah, dunia ini laksana dedaunan
yang semakin lama akan semakin layu dan mengering. Sementara, ia memahami bahwa
di kehidupan seorang manusia yang maha luas adalah merapakan rahmatan dan kasih
sayang Allah azza wa jalla. Bagi seorang salik yang telah ma’rifatullah,
ia tidak lagi mampu mengucapkan, memikirkan, dan menggagaskan mengenai asma,
sifat, dan dzat-Nya. Sebab, baginya Allah azza wa jalla adalah segala-galanya
dan totalitas Mahakuasa dan Mahabesar itu sendiri.[19]
KESIMPULAN
Syari’at, thariqat, haqiqat dan ma’rifat merupakan maqam yang ada
di dunia tasawwuf yang harus ditempuh secara bertahap oleh seorang murid dalam menjalani
suluk/mistik untuk mencapai kepada maqam tajalli (terbukanya nur cahaya
yang gaib bagi hati seseorang). Adapun perbedaan yang ada pada maqam-maqam
tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Syari’at
(شريعة) adalah undang-undang yang dibuat oleh
Allah SWT, yang tegak di atas dasar iman dan islam, berupa seperangkat hukum
tentang perbuatan zhahir/formal manusia yang diatur berdasarka wahyu al-quran
dan hadits/sunnah. Kaitanya dengan dunia tasawwuf syari’at bagaikan perahu yang
harus dinaiki oleh seseorang untuk mengaruhi sebuah lautan luas.
2.
Thariqat ) طريقة
) adalah jalan atau petunjuk melakukan ibadah tertentu sesuai dengan ajaran
yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang diteruskan para sahabat,tabi’in
dan tabi’it tabi’in secara turun temurun hingga para ulama’ atau guru-guru
tasawwuf secara berantai (membentuk sebuah silsilah/sanad tarekat) hingga
kepada kita sekarang ini.
3.
Haqiqah ) حقيقة)
adalah sampainya seorang sufi yang menempuh(jalan spiritual) tarekat pada
tujuanya, yaitu mengenal Allah SWT. Dan menyaksikan cahaya penampakan Allah,
yang mana menurut al Qusyairi adalah menyelami hadirat suci ketuhanan, yakni
bahwa seseorang melihat dari menyaksikan kebesaran tuhan dengan hatinya.
4.
Ma’rifat
(معرفة) adalah mengerti dan memehami nama-nama
Allah SWT. Dan sifat-sifat-Nya secara jujur dan tulus untuk berintraksi
denga-Nya dan serius dalam segala kondisinya, dan senantiasa berkoneksi
dengan-Nya dalam kondisi suasana sirri, serta berupaya kembali kepada-Nya dalam
segala sesuatunya dengan membersihka dirinya dari sifat-sifat rendah tercela.
Dalam arti
sufistik ini ma’rifat diartikan sebagai pengertian pengetahuan mengenai tuhan
melalui hati sanubari. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas sehingga
jiwanya merasa satu dengan dengan yang diketahui itu yaitu tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Tim Penyusun MKD, Akhlaq Tasawwuf (Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press.2012) hal
275-276
[2] Tim Penyusun MKD, Studi Hukum Islam (Surabaya:IAIN
Sunan Ampel Press.2012) hal 36-37
[3]
Departemen Agama RI, Al Qur an dan terjemahanya
(Jakarta:Mushaf syarifah, 1971)
[4] Tim Penyusun MKD, Pengantar studi islam
(Surabaya:IAIN Sunan Ampel Press:2012) hal 60-61
[5] Ibid hal 61
[6] Tim penyusun MKD,Pengantar studi islam
(Surabya,IAIN Sunan Ampel press:2012) hal 279-280
[7] Ibid 280-281
[8]
ibid
[9] Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf,(Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1997), 271-272
[10]Miftahul lutfhi Muhammad, Tasawwuf
Implementatif, (Surabaya:DIS Ma,had TeeBee, 2004) 17-18
[11] Nata, Akhlaq Tasawuf...hal.273
[12] Ibid hal. 276-277
[13] Ibid hal 289
[14] K.Permadi, Pengantar ilmu Tasawwuf,
(Jakarta:PT Rineka Cipta,1997) hal 56-57
[15] Ibid hal 291
[16]
K. Permadi....hal 57-58
[17]
Ibid hal 291-292
[18] H.Abudin Nata, Akhlak Tasawwuf (Jakarta:PT
Raja Grafindo Persada,1997) hal 220-221
[19]
Miftahul lutfhi Muhammad, Tasawwuf
Implementatif, (Surabaya:DIS Ma,had TeeBee, 2004)
No comments:
Post a Comment